Disusun
oleh:
Nur
Ikhsan D.C
Dosen Pembimbing
Prof.Dr.H.J.Suyuthi Pulungan, MA
Fakultas
Adab
Sejarah
& Kebudayaan Islam
Institut
Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang
2013
A. Pendahuluan
Manusia
diciptakan sebagai makhluk yang unik. Dia tercipta dari badan jasmaniah dan
aspek ruhaniah. Badan jasmaniah
terdiri dari materi dan kecenderungan bersifat material pula. Dari sisi ini,
biologis manusia sangat bergantung pada hal-hal material. Ia membutuhkan
pangan, sandang dan papan (kebutuhan dharuriyyah atau primer), dan
bahkan kebutuhan lain yang sifatnya tahsiniyyah atau sekunder. Sedangkan
jiwa manusia berasal dari ruh yang suci[1]
dengan kecenderungan bersifat ruhaniah pula. Dari sisi ini, manusia sangat
bergantung pada hal-hal yang bersifat spiritual, dia butuh akan ketenangan,
ketentraman, ketergantungan pada Zat Yang Maha Mutlak, bahkan kebersatuan
dengan-Nya.[2]
Keunikan manusia ini juga terletak pada kemampuannya dalam merenungkan dan
memikirkan tentang alam semesta (cosmos), Tuhan (theos) dan
bahkan dia dapat mempersoalkan dirinya sendiri, siapa, bagaimana, untuk apa,
dari mana dan mau kemana ujung kehidupan itu.[3]
Islam
sebagai agama telah mamancarkan berbagai fenomena, tidak saja fenomena teologis
dan ibadah, tetapi juga fenomena pemikiran dan keduniaan, seperti politik,
ekonomi dan sosial. Doktrin dalam ibadah adalah semua ibadah kecuali ada dalil
yang mewajibkannya.[4]
Al-Quran sebagai sumber nilai dan norma ajaran Islam, dalam kaitannya dengan
keberadaan dan hakekat kehidupan manusia, mengisyaratkan bahwa jiwa manusia
pada dasarnya mempunyai potensi kefasikan atau kejahatan (fujur) dan
potensi kebajikan (taqwa) yang dalam kehidupannya sehari-hari kedua
potensi ini tarik menarik, pengaruh-mempengaruhi. Di sinilah terletak hakekat
nilai perjuangan manusia di dunia. Apabila motivasi hidup dan kehidupannya
didorong dan didominasi oleh potensi fujur-nya, maka kehidupan manusia
terjerumus ke dalam jurang kehidupan yang kotor atau prilaku syaithaniyah.
Sebaliknya, apabila motivasi kehidupannya didominasi, dikendalikan dan
diarahkan oleh potensi taqwa-nya, dia akan sampai kepada kehidupan yang suci, derajat kehidupan
malakiyah, yaitu kehidupan spiritual kaum sufi yang ascetik (tashawuf).[5]
Dalam
mencari motivasi timbulnya gejala mistik, yang pertama harus dilihat adalah
faset kemanusiaan yang religius itu, yang mendorong manusia untuk menemukan dan
tumbuh dengan Tuhannya. Boleh jadi gejala mistik itu semakin luas dalam suatu
masyarakat karena agama mereka kurang memperhatikan aspek spiritual manusia,
atau karena kurangnya penghayatan terhadap ajaran agama yang berkenaan dengan
aspek ini dan atau mungkin karena kehidupan teknologis yang cenderung memperlebar
kesenjangan antara kehidupan individu dan antara manusia dengan alam
sekitarnya. Apapun penyebab sekundernya, yang terang ia merupakan stimula
terhadap rasa ke-Tuhanan yang manusiawi tadi.[6]
Tasawuf
merupakan petualangan batin yang penuh keasyikan dan sarat dengan pesan-pesan
spiritual yang dapat menentramkan batin manusia. Tasawuf sudah berkembang
menjadi wacana kajian akademik yang senantiasa aktual secara kontekstual dalam
setiap kajian pemikiran Islam. Apalagi di tengah-tengah situasi masyarakat yang
cenderung mengarah kepada dekadensi moral, yang imbasnya mulai terasa dalam kehidupan.
Oleh karena itu, tasawuf secara universal menempati posisi substansi dalam
kehidupan manusia.[7] Di
dalam makalah ini, penulis ingin menjelaskan pengertian tasawuf, tujuan tasawuf
dan hakekat tasawuf dalam ruang lingkup pemahaman untuk menjelaskan tasawuf
dalam satu definisi yang lebih jelas.
B. Pengertian Tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah
yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun
Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf,
yaitu al-suffah (ahl al-suffah) orang yang ikut dengan Nabi dari Mekkah
ke Madinah, Saf (barisan), Sufi (suci), Sophos (bahasa
Yunani: hikmat) dan Suf (kain wol). Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja
dihubungkan dengan tasawuf. Kata ahl al-suffah (orang yang ikut pindah
dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah) misalnya menggambarkan keadaan orang yang
rela mencurahkan jiwa raganya,harta benda dan lain sebagainya hanya untuk
Allah. Mereka ini rela meninggalkan kampung halamannya , rumah, kekayaan dan
harta benda lainnya di Mekkah untuk hijrah bersama Nabi ke Madinah. Tanpa ada
unsur iman dan kecintaan pada Allah, tak mungkin mereka lakukan hal yang
demikian. Selanjutnya kata Saf juga menggambarkan orang yang selalu
berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal
kebajikan. Demikian pula kata Sufi (suci) menggambarkan orang yang
selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat dan kata Suf
(kain wol) menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan
dunia serta kata Sophos (bahasa Yunani) menggambarkan keadaan jiwa yang
senantiasa cenderung kepada kebenaran.[8] Barmawie Umarie mengatakan bahwa hingga saat ini
belum ada yang menggoyahkan pendapat bahwa tasawuf berasal dari wazan
tafa’ul, yaitu tafa’‘ala-yatafa’alu-tafa’‘ulan dengan imbangannya
yaitu tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan. Barmawie Umarie lebih lanjut
menegaskan bahwa tasawuf dapat berkonotasi makna dengan tashawwafa ar-rajulu.
Artinya, ‘’Seorang laki-laki telah men-tasawuf.’’ Maksudnya,
laki-laki itu telah pindah dari kehidupan biasa kepada kehidupan sufi. Apa sebabnya? Sebab, para sufi bila telah memasuki
lingkungan tasawuf, mereka mempunyai simbol-simbol pakaian dari bulu tetapi
hampir-hampir menyamai goni dalam kesederhanaannya.[9]
Dari segi Linguistik (kebahasaan) ini segera
dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara
kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu
bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak
mulia. Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat
bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ada
tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu
sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang
harus berjuang dan manusia sebagai makhluk ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut
pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan
sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia
dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.[10]
Selanjutnya
jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang,
maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak
yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk ber-Tuhan, maka
tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat
mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan
manusia dengan Tuhan.[11]
Jika
tiga definisi tasawuf tersebut diatas satu dan lainnya dihubungkan, maka segera
tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai
kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga
tercermin akhlak yang mulia dan dekat kepada Allah SWT. Dengan kata lain
tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental
rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat tasawuf.[12]
C. Sejarah Timbulnya Tasawuf
Timbulnya
tasawuf dalam Islam bersamaan dengan munculnya agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak
Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul untuk segenap manusia dan seluruh alam
semesta. Fakta sejarah juga manunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat
menjadi Rasul telah berulang kali tahannuts dan khalwat di gua
Hira, untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekah yang sibuk dengan hawa
nafsu keduniaan. Kehidupan Nabi yang seperti itu dikenal sebagai hidup
kerohahian yang bertujuan untuk mendekatkan diri pada Allah yang dilakukan oleh
orang sufi sekarang ini. Corak kehidupan kerohanian Nabi itulah yang dijadikan
pedoman dalam hidup kerohanian sesudahnya sebagai materi dalam tasawuf, dimana
sufi itu dianngap penganut Islam yang memisahkan kehidupan dunia dengan
kehidupan akhirat.[13]
Setelah
beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau
masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun dirinya berada dalam
lingkaran keadaan yang serba dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya
sebagai seorang Nabi yang menjadi kekasih Tuhannya. Pada waktu malam sedikit
sekali tidur waktunya dihabiskan untuk bertawajjuh kepada Allah dengan
memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu
biasa dengan alas tikar dari daun kurma memakai pakaian terdiri dari bahan wol,
meskipun mampu membelinya pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana
sederhana (meskipun pangkatnya Nabi) daripada hidup bermewah-mewah.[14]
Tasawuf
dalam Islam, menurut ahli sejarah, sebagai Ilmu yang berdiri sendiri, lahir
sekitar akhir abad kedua atau awal abad ketiga Hijriah. Pembicaran para ahli
tentang lahirnya tasawuf lebih banyak menyoroti faktor-faktor yang mendorong
kelahiran tasawuf. Faktor-faktor tersebut dibedakan menjadi faktor ekstern dan
faktor intern.[15]
1. Faktor Ekstern
Banyak
pendapat yang telah dikemukakan sekitar faktor ekstern ini, antara lain sebagai
berikut:
a. Tasawuf lahir karena pengaruh dari paham Kristen yang
menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri di biara-biara. Sikap hidup menjauhi
dunia dan keramaian manusia ini memang terlihat jelas dalam perilaku para sufi
dengan paham zuhud yang mereka anut.
b. Tasawuf lahir karena pengaruh dari filsafat Phytagoras
yang berpendapat bahwa roh manusia kekal dan berada di dunia sebagai orang
asing. Badan atau raga adalah penjara bagi roh. Untuk mencapai kesenangan yang
sebenarnya dalam samawi, seseorang harus membersihkan roh tersebut dengan sikap
hidup meninggalkan kehidupan materi dan berkontemplasi. Ajaran filsafat
Phytagoras itulah, menurut para pendukung teori ini, yang mempengaruhi
munculnya paham zuhud dalam tasawuf Islam.
c. Munculnya tasawuf dalam Islam sebagai pengaruh dari
filsafat emanasi Plotinus yang membawa paham bahwa wujud memancar dari zat
Tuhan. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Masuknya ke dalam
materi menyebabkan roh menjadi kotor. Untuk kembali kepada Tuhan, roh harus
dibersihkan terlebih dahulu dengan sikap meninggalkan dunia dan mendekatkan
diri kepada Tuhan sedekat mungkin.
d. Tasawuf lahir atas pengaruh paham nirwana. Menurut
ajaran Budha bahwa seseorang harus meninggalkan dunia dan melakukan
kontemplasi. Lebih lanjut dikatakan, paham fana dalam tasawuf Islam mirip
sekali dengan paham nirwana dalam ajaran Budha.
e. Tasawuf lahir karena pengaruh ajaran Hinduisme yang
mendorong manusia meninggalkan dunia dan berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan
demi tercapainya persatuan antara Atman dan Brahman.
kebenaran
teori-teori yang menitikberatkan faktor ekstern ini memang tidak dapat
dipastikan. Semua serba mungkin karena tasawuf lahir pada saat umat Islam telah
mempunyai kontak dengan dunia luar atau umat agama lain.[16]
2. Faktor Intern
Sebagian
ahli menekankan faktor intern. Menurut mereka, lahirnya tasawuf Islam
dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang ada dalam Islam itu sendiri, bukan
karena pengaruh dari luar.
Faktor-faktor
intern ini ditemukan dalam Al-Quran, Al-Hadits dan perilaku Nabi Muhammad SAW.
Di dalam Al-Quran ditemukan ayat-ayat tertentu yang dapat membawa pada paham
mistis. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya teori bahwa paham tasawuf ini
muncul, tumbuh dan berkembang dari dalam Islam sendiri, bukan karena pengaruh
dari luar. Allah SWT berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran“. (Q.S. Al-baqarah : 186)[17]
Dalam
ayat tersebut, Tuhan menegaskan bahwa Ia sangat dekat dengan manusia dan akan
memperkenankan permohonan orang yang berdoa kepada-Nya. Gambaran tentang
kedekatan Tuhan dengan manusia dipertegas lagi dalam firman Allah SWT:
‘‘dan
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya‘‘. (Q.S. Qaf : 16).[18]
Dalam ayat ini, Allah menunjukkan
betapa dekat Ia dengan manusia, bahkan
lebih dekat daripada pembuluh darah yang ada di leher manusiaitu sendiri. Lebih
jauh lagi, dari ayat ini bisa dipahami bahwa Tuhan sebenarnya berada dalam diri
manusia, bukan berada di luarnya. Oleh karena itu ke mana pun manusia berpaling
dan menghadapkan mukanya, ia selalu berjumpa dengan Tuhan, sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah SWT:
‘‘Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.[19]
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui‘‘. (Q.S. Al-Baqarah : 115).[20]
Masih banyak ayat lain yang menunjukkan kedekatan
Tuhan dengan manusia. Di samping itu, banyak pula ayat Al-Quran yang
menunjukkan aliran zuhud, sederhana dalam kehidupan, selalu beribadah kepada
Allah dan lain-lain, yang sejalan dengan praktek kaum sufi karena memang kaum
sufi melakukan aktivitasnya didasarkan pada Al-Quran dan Al-Hadis.
Hadis
yang dipandang mengilhami lahirnya Tasawuf di dunia Islam adalah sabda Nabi;
‘‘Barang siapa mengenal dirinya sendiri, ia akan
mengenal Tuhannya‘‘.
Hadis
tersebut, disamping melukiskan kedekatan hubungan antara Tuhan dan manusia,
sekaligus mengisyaratkan bahwa manusia dan Tuhan adalah satu. Oleh sebab itu,
barang siapa yang ingin mengenal Tuhan, ia dapat merenungkan perihalnya
sendiri.
‘‘Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka Aku
menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku‘‘.
Selanjutnya,
faktor intern yang dapat dipandang sebagai penyebab langsung lahirnya tasawuf
di dunia Islam, lebih terlihat jelas dalam perilaku Rasulullah SAW.
Dengan
demilkian, tanpa adanya faktor ekstern, tasawuf pun tetap lahir di dunia Islam.[21]
D. Tujuan Tasawuf
Secara
umum, tujuan terpenting dari sufi adalah agar berada sedekat mungkin dengan
Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum.
Terlihat adanya tiga sasaran ‘’antara’’ dari tasawuf, yaitu; pertama, tasawuf
yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan
kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu
sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf
yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis . kedua, tasawuf
yang bertujuan untuk ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode
al-kasyf al-hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat
ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistematis analitis. Ketiga,
tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan
pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan
antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan Tuhan dan apa
arti dekat dengan Tuhan. Dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat
tiga simbolisme, yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan
dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog
antara manusia dengan Tuhan dan makna dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia
dengan Tuhan sehingga terjadi adalah monolog antara manusia yang telah menyatu
dalam iradat Tuhan.[22]
Dari
uraian singkat tentang tujuan sufisme ini, terlihat adanya keragaman tujuan
itu. Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah etika murni
atau psikologi murni dan atua keduanya secara bersamaan, yaitu:
a) Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak
Tuhan, karena Dialah penggerak utama dari semua kejadian di alam ini.
b) Penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan
melepas diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi,
teresterial yang diiistilahkan sebagai ‘’fana al-ma’asi dan baqa al-ta’ah,dan
c) Peniadaan kesadaran terhadap ‘’diri sendiri’ serta
pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali
Dia. Ilahi anta maksudi wa ridhaka mathlubi.[23]
E. Hakekat Tasawuf
Hakekat
adalah Salik mencapai tujuan yaitu Ma’rifat billah[24] dan Musyahadati nurit Tajalli atau terbukanya Nur (cahaya) yang gaib bagi hati
seseorang. Maka apabila syari’at merupakan peraturan, Tarekat merupakan
pelaksanaan (dalam menempuh jalan), maka hakekat merupakan tujuan pokok yakni
pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Hakekat juga berarti kebenaran sejati
dan mutlaq, sebagai akhir dari semua perjalanan, tujuan segala jalan (Tarekat).[25]
Dalam
pengartian istilah ini, al-Qurasyairi mengatakan, apabila syari’at berkonotasi
kepada konsistensi seorang hamba Allah, maka hakekat adalah kemampuan seseorang
dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syari’at itu. Dengan
demikian, setiap amalan kahir yang tidak diisi hakekat tidak ada artinya dan demikian juga sebaiknya,
hakekat berarti inti sesuatu atau sumber asal dari sesuatu. Dalam dunia sufi,
hakekat diartikan sebagai aspek batin dari syari’at, sehingga dikatakan hakekat
adalah aspek yang paling dalam dari setiap amal, inti dan rahasia dari syari’at
yang merupakan tujuan perjalanan salik. Nampaknya hakekat berkonotasi kualitas
ilmu batin, yaitu sedalam apa dapat diselami dan dirasakan makna batiniyah dari
setiap ajaran agama.[26]
Di
samping itu, ajaran tasawuf pada hakekatnya merupakan penerapan dari syari’at
Islam, yang berusaha membimbing manusia agar beribadah dengan penuh keikhlasan,
berusaha membina ruhani menjadi bersih yang akan berpengaruh pada kebersihan
jasmani. Oleh karena itu menurut ajaran tasawuf hati harus dibersihkan. Apabila
seorang telah bersih lahir dan batin dari kemaksiatan, maka akan terangkatlah
dinding ma‘rifatullah yang ingin dicapai oleh para sufi. Sehingga
manusia dengan cara demikian akan betul-betul merasakan dalam hatinya kehadiran
Tuhan bahkan dapat merasakan bertemu dengan Tuhan dikala beribadah kepada-Nya.[27]
Mistisisme
dalam Islam diberi nama Tasawuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme.
Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisme
Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama
lain. Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama
Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan,
sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari
mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri
dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil
bentuk ittihad, bersatu dengan Tuhan. Tasawuf merupakan suatu ilmu
pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan , tasawuf atau sufisme mempelajari
cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan
Allah SWT.[28]
F. Ruang Lingkup Ilmu Tasawuf
Tasawuf adalah nama lain dari ‘‘Mistisisme dalam
Islam‘‘. Di kalangan orientalis
Barat dikenal dengan sebutan ‘’Sufisme’’. Kata ‘‘Sufisme‘‘ merupakan istilah
khusus dalam mistisisme Islam. Sehingga katta ‘‘Sufisme‘‘ tidak ada pada
mistisisme agama-agama lain. Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan
khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh
kesadaran, bahwa manusia berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut menuju
kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. hal ini melalui
cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan
Tuhan akan berbentuk ‘‘Ittihad‘‘ (bersatu) dengan Tuhan. demikian inimenjadi
inti persoalan ‘‘Sufisme‘‘ baik pada agama Islam maupun di luarnya.
Dengan
pemikiran diatas, dapat dipahami bahwa ‘‘tasawuf/mistisisme Islam‘‘ adalah
suatu ilmu yang mempelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada
di hadirat Allah SWT (Tuhan). maka gerakan ‘‘kejiwaan‘‘ penuh dirasakan guna
memikirkan betul suatu hakekat kontak hubung yang mampu menelaah informasi dari
Tuhannya.[29]
Tasawuf
atau mistisisme dalam Islam beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari
bentuk hidup ‘’kezuhudan‘‘ (menjauhi kemewahan duniawi). Tujuan tasawuf untuk
bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan maksud ada perasaan benar-benar
berada di hadirat Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang
diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena belum
memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
Dengan
demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah
hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya atau cara-cara untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara
langsung dari Tuhan.[30]
G. Maqamat dan Stasiun-Stasiun Lainnya
Secara
harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang
berdiri atau pangkal mulia.[31]
Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa
Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Untuk
berada dekat kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang
berisi stasiun-stasiun, yang disebut maqamat dalam istilah Arab atau Stages
dan Stations dalam istilah Inggris.[32]
Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang disepakati, yaitu al-zuhud,
al-taubah, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridha. Penjelasan
atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut[33]:
1.
Al-Zuhud
Secara
harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
Sedangkan menurut Harun Nasution, zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan
hidup kematerian.[34]
Kebersihan dari dosa tidak cukup hanya dengan tobat , melainkan juga dengan
meninggalkan dunia materi. Setelah bersih dari dosa, seorang zahid mulai
melihat Tuhan bukan sebagai Tuhan yang ditakuti siksa-Nya, tetapi sebagai Tuhan
tempat mencari ketentraman jiwa.[35]
2. Taubat (Al-Taubah)
Taubat
dilukiskan sebagai kebangunan jiwa dari ketidakpedulian, sehingga yang berdosa
menyadari akan kesalahan jalan yang ditempuhnya dan menyesali ketidakpatuhan
yang telah dilakukan. Penyesalan itu belum dibenarkan jika dia tidak
menghentikan seketika perbuatan dosa-dosa yang telah disadarinya dan berjanji
tidak akan mengulang berbuat dosa lagi. Bila dia gagal memenuhi sumpahnya, dia
harus minta ampun pada Tuhan lagi yang rahmatnya tak terhingga.[36]
3. Al-Wara‘
Kata
ini mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik dan dalam pengertian sufi,
wara‘ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat syubhat
(keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu. Cerita-cerita tentang sufi mau makan
kalau ia ragu-ragu tentang keadaan makanan yang disajikan baginya; apakah itu
diperdapat dan diperoleh dengan jalan halal, dapat dibaca dalam literatur
tasawuf. Al-Muhasibi menolak segala makanan yang di dalamnya terdapat
syubhat. Tangan Bisr al-Hafi, tiap ada makanan yang di dalamnya terdapat
syubhat, tak dapat diulurkannya untuk mengambil makanan itu.[37]
4. Kefakiran (Al-Faqr)
Seperti
halnya dalam istilah-istilah yang lain, al-faqr juga mempunyai interpretasi
yang berbeda antara satu sufi dengan
sufi lain. Tetapi pada umumnya berfokus kepada sikap hidup yang tidak ‘‘ngoyo‘‘
atau memaksa diri untuk meendapatkan sesuatu. Tidak menuntut lebih dari apa
yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer. Tetapi ada pula yang
mengartikan, tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa. Sebenarnya,
bagaimanapun konotasi yang diberikan masing-masing sufi dalam masalah ini,
namun pesan yang tersirat di dalamnya adalah agar manusia bersikap hati-hati
terhadap pengaruh negatif yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta
kekayaan. Namun bagi sufi itu sendiri, mereka merasa lebih baik tidak punya
apa-apa atau sudah merasa cukup dengan apa adanya, dari pada punya tetapi
menyiksa.[38]
5. Sabar (Al-Shabr)
Sabar
bukan hanya berarti patuh dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan Allah, tetapi juga sabar dalam menerima segala
cobaanyang ditimpakan Tuhan kepadanya. Sabar, jika dipandang sebagai
pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan oleh Al-Ghazali sebagai
kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit
fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa
sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek, misalnya untuk menahan nafsu makan dan
seks yang berlebihan.[39]
6. Tawakal (Al-Tawakal)
Dalam
syari’at Islam diajarkan bahwa tawakal dilakukan sesudah segala daya upaya dan
ikhtiar dijalankannya. Jadi yang ditawakalkan atau digantungkan pada rahmat
pertolongan Allah adalah hasil usahanya sesudah segala ikhtiar yang
dilakukannya. Yakni tawakal yang dilandasi oleh aktif kerja keras. Dalam taswuf
tawakal dijadikan satu maqam yang diberi pengertian secara khusus yang berbeda
dan menyimpang dari ajaran tawakal dalam agama. Tasawuf menjadikan maqam
tawakal sebagai wasilah atau tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati
manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan apa saja
selain Allah.[40]
7. Kerelaan (Al-Ridha)
Setelah mencapai maqam tawakal, nasib hidup mereka
bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Allah, meninggalkan dan
membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus segera
diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam ridha. Maqam ridha adalah ajaran
untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan dan
kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana dikatakan oleh
Imam Al-Ghazali, rela menerima apa saja. Segala yang telah dan sedang dialami
itulah yang terbaik baginya, tak ada yang terlebih baik selain apa yang telah
dan sedang dialaminya. Dalam ajaran kawruh beja Suryamataram, ridha itu
dirumuskan dalam ungkapan ‘‘Aku sak iki neng kene ngene,gelem‘‘. Jadi dengan
maqam ridha segala derita dan percobaan Tuhan ditanggapinya sebagai rahmat
nikmat Allah.[41]
H. Hal dan Perilaku Orang Bertasawuf
Menurut
Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan
sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah
takut (al-khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-Taqwa),
ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati
(al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr). Hal berlainan dengan maqam,
bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah dan
rahmat dari Tuhan. berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang
dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[42]
1. Mahabbah
Mahabbah
adalah cinta dan yang
dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. pengartian yang diberikan kepada Mahabbah
antara lain adalah memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan
pada-Nya, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi dan mengosongkan hati
dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi. Yang dimaksud dengan
dikasihi di sini ialah Tuhan. sufi yang termashur dalam mahabbah ialah
Rabi’ah al-Adawiyah (713-801 H) dari Basrah di Irak. Menurut riwayatnya
ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia
banyak beribadat, bertobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam
kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya.
Bahkan dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari
Tuhan. ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada
dekat dengan Tuhan.[43]
2. Al-Ma’rifah
Dari literatur yang diberikan tentang ma’rifah, ma’rifah
berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat
Tuhan. oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan kalau mata yang terdapat
dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika
itu yang dilihatnya hanya Allah. Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang ‘arif
melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Yang dilihatnya
orang ‘arif baik sewaktu bangun hanya Allah. Sekiranya ma’rifah
mengambil bentuk materi, semua orang melihat padanya akan mati karena tak tahan
melihat kecantikan serta keindahannya dan semua cahaya akan menjadi gelap di
samping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[44]
Dalam
tasawuf Zunnun al-Misri (wafat 860 M)
yang dipandang sebagai bapak paham ma’rifah. Menurut Zunnun ada tiga
macam pengetahuan tentang Tuhan:
1. Pengetahuan Awam: Tuhan satu dengan perantaraan ucapan
syahadat.
2. Pengetahuan ulama: Tuhan satu menurut logika akal.
3. Pengetahuan sufi : Tuhan satu dengan perantaraan
hati sanubari.[45]
3. Al-Fana, Al-Baqa dan Ittihad
Dari
segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana
berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya
sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran
pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada
diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan
dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula beerarti hilangnya sifat-sifat yang
tercela.[46]
Sebagai
akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal,
sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat
terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Dalam istilah tasawuf, fana
dan baqa datang beriringan. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa
yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak
yang tercela, kebodohan, dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa
adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak terpuji, ilmu pengetahuan dan
kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan
usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah dan menghiasi diri dengan
akhlak yang terpuji.[47]
Berbicara
fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad,
yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana
dan baqa itu sendiri adalah ittihad (penyatuan rohani dengan
Tuhan). hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan
bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan penbicaraan
paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf
sebagai dikatakan oleh al-Baidawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun
sebenarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain. Karena yang dilihat
dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi
pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan (Tuhan) atau tegasnya
antara sufi dan Tuhan.[48]
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustomi
(w. 874 M) disebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana
dan baqa ini. Nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa
dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang
pendiriannya. Ia pernah mengatakan: ‘‘Kalau kamu lihat seseorang sanggup
melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang ke
udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti
perintah syari’at dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at.‘‘[49]
Ketika
Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah
kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan
kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan, padahal yang
sesungguhnya ia tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin
bersatu dengan Tuhan. Di antara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya,
misalnya :‘‘ Tidak ada Tuhan, melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah
saya, alangkah besarnya kuasaku.‘‘[50]
Ucapan
yang keluar dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi
kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang
dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku
dirinya sebagai Tuhan. Bagi orang yang bersikap toleran, ittihad
dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras
berpegang pada agama, itu dipandang sebagai
kekufuran. Paham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul
dan wahdat al-wujud. Dengan demikian untuk mencapai hulul dan wahdatul
wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu melalui fana dan baqa.[51]
4. Al-Hulul
Secara
harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu,
yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui
fana.[52]
Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma‘ sebagai dikutip Harun
Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan. Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri
manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada
diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan
nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian
manusia dalam bukunya bernama al-thawasin.[53]
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap
dimana manusia dan Tuhan bersatu secrara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada
hakikatnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah disebutkan di atas.
Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka
mengatakan, bahwa al-Hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri
insan (nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan
telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.[54]
5. Wahdat al-Wujud
Wahdat
al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud.
Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud
berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang
bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengaertikan wahdah sebagai
sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil.
Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para filsafat dan sufistik
sebagai suatu kesatuan antara materi dan
roh, substansi (hakekat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan
yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakekatnya qadim dan
berasal dari Tuhan.[55]
Paham
Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyidin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol
pada tahun 1165 M. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di
tahun 1145 dan disana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. Ia pergi ke mekkah
dan meninggal di Damaskus di Tahun 1240 M. Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat
disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah
menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq
Tasawuf. Baginya Wujud (yang ada) itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain
ujud Khaliq. Pada hakekatnya tidaklah ada pemisah di antara manusia dan Tuhan.
kalau dikatakan berlainan antara khaliq dan makhluk itu hanyalah lantaran
pendeknya paham dan akal dalam mencapai hakekat.[56]
I. Simpulan
Kata tasawuf atau sufi belum dikenal
di zaman Rasul dan sahabat, tetapi baru muncul pada akhir abad kedua hijriah
karena sikap dan perilaku orang-orang zuhud yang hidup mewah. Karena istilah
tersebut baru muncul akhir abad kedua Hijriah dan istilah ini tidak terdapat di
dalam Al-Qur’an dan Hadis, maka bermacam teori pun muncul mengenai asal kata
dari istilah tasawuf atau sufi itu, namun, teori yang lebih dekat kepada
kebenaran adalah bahwa tasawuf atau sufi berasal dari kata shuf. Di
samping secara filologis kata shuf sejalan dengan kata tashawuf
atau sufi, juga para sufi ketika itu rata-rata memakai pakaian yang terbuat
dari bulu domba (shuf) sebagai simbol dari kesederhanaan mereka.
Ajaran tashawuf yang
bertujuan untuk mendekatkan manusia sedekat mungkin kepada Tuhan dengan
membersihkan jiwanya sebersih mungkin kepada Tuhan dan menghiasi manusia dengan
akhlak yang terpuji, bukanlah timbul karena pengaruh agama lain atau karena
pengaruh falsafat dan mistik dari luar, tetapi muncul, tumbuh dan
berkembangdari dalam Islam sendiri yang digali dari ajaran Al-Qur’an, hadis
Nabi dan praktek para sahabat.
Para tokoh mempunyai
model-model pemikiran tasawuf yang berbeda dan kesemuanya para ahli berbeda
antara satu dan yang lain. Tetapi pada hakekatnya Tujuan akhir ajaran tasawuf
adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dalam rangka
mencapai ridha-Nya, dengan mujahadah melalui latihan (riyadhah) spiritual dan
pembersihan jiwa, atau hati (tazkiyah al-anfus). Jiwa dan tubuh bersifat saling
mempengaruhi. Apabila jiwa sempurna dan suci, maka perbuatan tubuh akan baik.
Begitu pula sebaliknya, dengan dihiasi akhlak yang diridhai oleh Allah.
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Daftar
Pustaka
Anwar, Rosihon.
Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA. 2007.
Anwar, Rosihon dan
Muhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2008.
Bakhtiar, Amsal. Tasawuf dan Gerakan Tarekat.
Bandung: ANGKASA Bandung. 2003.
Hamka. Tasawuf Perkembangan
dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1984.
http://muhammadyusuf18.blogspot.com/2011/pengertian-dan-ruang-lingkup-tasawuf.html.Diakses pada tanggal
08-05-2013.
http://zhebaulil.blogspot.com/2013/pengertian-dan-mempelajari.html. Diakses pada tanggal 08-05-2013.
Labib Mz. Memahami Ajaran
Tashawuf & Thoriqot. Surabaya
: BINTANG USAHA JAYA. 2003.
Labib Mz. Memahami Ajaran Tashowuf. Surabaya
: TIGA DUA. 2000.
Mahmud, Abdul Qadir. Al-Falsafah
Al-Sufiyah fi al-Islam. Beirut :
Dar al-Fikr, 1966.
Nasution, Harun. Falsafah
dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1973.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
Rajawali Pers. 2010.
Rusli, Ris’an. Tasawuf
dan Tarekat. Palembang : IAIN Raden Fatah Press. 2006.
Siregar, H.A. Rivay. Tasawuf Dari
Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada. 2002.
Yunus, Muhammad. Kamus Arab Indonesia . Jakarta : Hidakarya Agung. 1990.
[24] Ma’rifat billah ialah melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas
dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya, tapi tidak dengan
kaifiyat artinya Tuhan digambarkan seperti benda atau manusia ataupun yang lain
dengan ketentuan bentuk dan rupa sebagai jawaban kaefa (bagaimana zat Tuhan
itu?). Lihat Labib Mz. Memahami
Ajaran Tashowuf dan Thoriqot. (Surabaya
: BINTANG USAHA JAYA. 2003).hlm. 19.