Senin, 05 Mei 2014

Tasawuf ( Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam)


Pemikiran Tasawuf Dalam Islam
(Studi Perkembangan Pemikiran Islam)




Disusun oleh:
Nur Ikhsan D.C

Dosen Pembimbing
 Prof.Dr.H.J.Suyuthi Pulungan, MA

Fakultas Adab
Sejarah & Kebudayaan Islam
Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang

2013





A. Pendahuluan
            Manusia diciptakan sebagai makhluk yang unik. Dia tercipta dari badan jasmaniah dan aspek ruhaniah. Badan jasmaniah terdiri dari materi dan kecenderungan bersifat material pula. Dari sisi ini, biologis manusia sangat bergantung pada hal-hal material. Ia membutuhkan pangan, sandang dan papan (kebutuhan dharuriyyah atau primer), dan bahkan kebutuhan lain yang sifatnya tahsiniyyah atau sekunder. Sedangkan jiwa manusia berasal dari ruh yang suci[1] dengan kecenderungan bersifat ruhaniah pula. Dari sisi ini, manusia sangat bergantung pada hal-hal yang bersifat spiritual, dia butuh akan ketenangan, ketentraman, ketergantungan pada Zat Yang Maha Mutlak, bahkan kebersatuan dengan-Nya.[2] Keunikan manusia ini juga terletak pada kemampuannya dalam merenungkan dan memikirkan tentang alam semesta (cosmos), Tuhan (theos) dan bahkan dia dapat mempersoalkan dirinya sendiri, siapa, bagaimana, untuk apa, dari mana dan mau kemana ujung kehidupan itu.[3]
            Islam sebagai agama telah mamancarkan berbagai fenomena, tidak saja fenomena teologis dan ibadah, tetapi juga fenomena pemikiran dan keduniaan, seperti politik, ekonomi dan sosial. Doktrin dalam ibadah adalah semua ibadah kecuali ada dalil yang mewajibkannya.[4] Al-Quran sebagai sumber nilai dan norma ajaran Islam, dalam kaitannya dengan keberadaan dan hakekat kehidupan manusia, mengisyaratkan bahwa jiwa manusia pada dasarnya mempunyai potensi kefasikan atau kejahatan (fujur) dan potensi kebajikan (taqwa) yang dalam kehidupannya sehari-hari kedua potensi ini tarik menarik, pengaruh-mempengaruhi. Di sinilah terletak hakekat nilai perjuangan manusia di dunia. Apabila motivasi hidup dan kehidupannya didorong dan didominasi oleh potensi fujur-nya, maka kehidupan manusia terjerumus ke dalam jurang kehidupan yang kotor atau prilaku syaithaniyah. Sebaliknya, apabila motivasi kehidupannya didominasi, dikendalikan dan diarahkan oleh potensi taqwa-nya, dia akan sampai  kepada kehidupan yang suci, derajat kehidupan malakiyah, yaitu kehidupan spiritual kaum sufi yang ascetik (tashawuf).[5]
            Dalam mencari motivasi timbulnya gejala mistik, yang pertama harus dilihat adalah faset kemanusiaan yang religius itu, yang mendorong manusia untuk menemukan dan tumbuh dengan Tuhannya. Boleh jadi gejala mistik itu semakin luas dalam suatu masyarakat karena agama mereka kurang memperhatikan aspek spiritual manusia, atau karena kurangnya penghayatan terhadap ajaran agama yang berkenaan dengan aspek ini dan atau mungkin karena kehidupan teknologis yang cenderung memperlebar kesenjangan antara kehidupan individu dan antara manusia dengan alam sekitarnya. Apapun penyebab sekundernya, yang terang ia merupakan stimula terhadap rasa ke-Tuhanan yang manusiawi tadi.[6]
            Tasawuf merupakan petualangan batin yang penuh keasyikan dan sarat dengan pesan-pesan spiritual yang dapat menentramkan batin manusia. Tasawuf sudah berkembang menjadi wacana kajian akademik yang senantiasa aktual secara kontekstual dalam setiap kajian pemikiran Islam. Apalagi di tengah-tengah situasi masyarakat yang cenderung mengarah kepada dekadensi moral, yang imbasnya mulai terasa dalam kehidupan. Oleh karena itu, tasawuf secara universal menempati posisi substansi dalam kehidupan manusia.[7] Di dalam makalah ini, penulis ingin menjelaskan pengertian tasawuf, tujuan tasawuf dan hakekat tasawuf dalam ruang lingkup pemahaman untuk menjelaskan tasawuf dalam satu definisi yang lebih jelas.

B. Pengertian Tasawuf
            Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) orang yang ikut dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah, Saf (barisan), Sufi (suci), Sophos (bahasa Yunani: hikmat) dan Suf (kain wol). Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja dihubungkan dengan tasawuf. Kata ahl al-suffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah) misalnya menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa raganya,harta benda dan lain sebagainya hanya untuk Allah. Mereka ini rela meninggalkan kampung halamannya , rumah, kekayaan dan harta benda lainnya di Mekkah untuk hijrah bersama Nabi ke Madinah. Tanpa ada unsur iman dan kecintaan pada Allah, tak mungkin mereka lakukan hal yang demikian. Selanjutnya kata Saf juga menggambarkan orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan. Demikian pula kata Sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat dan kata Suf (kain wol) menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia serta kata Sophos (bahasa Yunani) menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran.[8] Barmawie Umarie mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada yang menggoyahkan pendapat bahwa tasawuf berasal dari wazan tafa’ul, yaitu tafa’‘ala-yatafa’alu-tafa’‘ulan dengan imbangannya yaitu tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan. Barmawie Umarie lebih lanjut menegaskan bahwa tasawuf dapat berkonotasi makna dengan tashawwafa ar-rajulu. Artinya, ‘’Seorang laki-laki telah men-tasawuf.’’ Maksudnya, laki-laki itu telah pindah dari kehidupan biasa kepada kehidupan sufi. Apa sebabnya? Sebab, para sufi bila telah memasuki lingkungan tasawuf, mereka mempunyai simbol-simbol pakaian dari bulu tetapi hampir-hampir menyamai goni dalam kesederhanaannya.[9]
            Dari segi Linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia. Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang dan manusia sebagai makhluk ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.[10]
            Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.[11]
            Jika tiga definisi tasawuf tersebut diatas satu dan lainnya dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat kepada Allah SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat tasawuf.[12]

C. Sejarah Timbulnya Tasawuf
            Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan munculnya agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul untuk segenap manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah juga manunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali tahannuts dan khalwat di gua Hira, untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekah yang sibuk dengan hawa nafsu keduniaan. Kehidupan Nabi yang seperti itu dikenal sebagai hidup kerohahian yang bertujuan untuk mendekatkan diri pada Allah yang dilakukan oleh orang sufi sekarang ini. Corak kehidupan kerohanian Nabi itulah yang dijadikan pedoman dalam hidup kerohanian sesudahnya sebagai materi dalam tasawuf, dimana sufi itu dianngap penganut Islam yang memisahkan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat.[13]
            Setelah beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun dirinya berada dalam lingkaran keadaan yang serba dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai seorang Nabi yang menjadi kekasih Tuhannya. Pada waktu malam sedikit sekali tidur waktunya dihabiskan untuk bertawajjuh kepada Allah dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu biasa dengan alas tikar dari daun kurma memakai pakaian terdiri dari bahan wol, meskipun mampu membelinya pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana sederhana (meskipun pangkatnya Nabi) daripada hidup bermewah-mewah.[14]
            Tasawuf dalam Islam, menurut ahli sejarah, sebagai Ilmu yang berdiri sendiri, lahir sekitar akhir abad kedua atau awal abad ketiga Hijriah. Pembicaran para ahli tentang lahirnya tasawuf lebih banyak menyoroti faktor-faktor yang mendorong kelahiran tasawuf. Faktor-faktor tersebut dibedakan menjadi faktor ekstern dan faktor intern.[15]
1. Faktor Ekstern
            Banyak pendapat yang telah dikemukakan sekitar faktor ekstern ini, antara lain sebagai berikut:
a.       Tasawuf lahir karena pengaruh dari paham Kristen yang menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri di biara-biara. Sikap hidup menjauhi dunia dan keramaian manusia ini memang terlihat jelas dalam perilaku para sufi dengan paham zuhud yang mereka anut.
b.      Tasawuf lahir karena pengaruh dari filsafat Phytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan atau raga adalah penjara bagi roh. Untuk mencapai kesenangan yang sebenarnya dalam samawi, seseorang harus membersihkan roh tersebut dengan sikap hidup meninggalkan kehidupan materi dan berkontemplasi. Ajaran filsafat Phytagoras itulah, menurut para pendukung teori ini, yang mempengaruhi munculnya paham zuhud dalam tasawuf Islam.
c.       Munculnya tasawuf dalam Islam sebagai pengaruh dari filsafat emanasi Plotinus yang membawa paham bahwa wujud memancar dari zat Tuhan. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Masuknya ke dalam materi menyebabkan roh menjadi kotor. Untuk kembali kepada Tuhan, roh harus dibersihkan terlebih dahulu dengan sikap meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin.
d.      Tasawuf lahir atas pengaruh paham nirwana. Menurut ajaran Budha bahwa seseorang harus meninggalkan dunia dan melakukan kontemplasi. Lebih lanjut dikatakan, paham fana dalam tasawuf Islam mirip sekali dengan paham nirwana dalam ajaran Budha.
e.       Tasawuf lahir karena pengaruh ajaran Hinduisme yang mendorong manusia meninggalkan dunia dan berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan demi tercapainya persatuan antara Atman dan Brahman.
            kebenaran teori-teori yang menitikberatkan faktor ekstern ini memang tidak dapat dipastikan. Semua serba mungkin karena tasawuf lahir pada saat umat Islam telah mempunyai kontak dengan dunia luar atau umat agama lain.[16]
2. Faktor Intern
            Sebagian ahli menekankan faktor intern. Menurut mereka, lahirnya tasawuf Islam dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang ada dalam Islam itu sendiri, bukan karena pengaruh dari luar.
            Faktor-faktor intern ini ditemukan dalam Al-Quran, Al-Hadits dan perilaku Nabi Muhammad SAW. Di dalam Al-Quran ditemukan ayat-ayat tertentu yang dapat membawa pada paham mistis. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya teori bahwa paham tasawuf ini muncul, tumbuh dan berkembang dari dalam Islam sendiri, bukan karena pengaruh dari luar. Allah SWT berfirman:
  
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran“. (Q.S. Al-baqarah : 186)[17]

            Dalam ayat tersebut, Tuhan menegaskan bahwa Ia sangat dekat dengan manusia dan akan memperkenankan permohonan orang yang berdoa kepada-Nya. Gambaran tentang kedekatan Tuhan dengan manusia dipertegas lagi dalam firman Allah SWT:
   
‘‘dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya‘‘. (Q.S. Qaf : 16).[18]

           Dalam ayat ini, Allah menunjukkan betapa dekat Ia  dengan manusia, bahkan lebih dekat daripada pembuluh darah yang ada di leher manusiaitu sendiri. Lebih jauh lagi, dari ayat ini bisa dipahami bahwa Tuhan sebenarnya berada dalam diri manusia, bukan berada di luarnya. Oleh karena itu ke mana pun manusia berpaling dan menghadapkan mukanya, ia selalu berjumpa dengan Tuhan, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:
       
‘‘Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.[19] Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui‘‘. (Q.S. Al-Baqarah : 115).[20]        
 
Masih banyak ayat lain yang menunjukkan kedekatan Tuhan dengan manusia. Di samping itu, banyak pula ayat Al-Quran yang menunjukkan aliran zuhud, sederhana dalam kehidupan, selalu beribadah kepada Allah dan lain-lain, yang sejalan dengan praktek kaum sufi karena memang kaum sufi melakukan aktivitasnya didasarkan pada Al-Quran dan Al-Hadis.
            Hadis yang dipandang mengilhami lahirnya Tasawuf di dunia Islam adalah sabda Nabi;
‘‘Barang siapa mengenal dirinya sendiri, ia akan mengenal Tuhannya‘‘.
            Hadis tersebut, disamping melukiskan kedekatan hubungan antara Tuhan dan manusia, sekaligus mengisyaratkan bahwa manusia dan Tuhan adalah satu. Oleh sebab itu, barang siapa yang ingin mengenal Tuhan, ia dapat merenungkan perihalnya sendiri.
‘‘Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku‘‘.
            Selanjutnya, faktor intern yang dapat dipandang sebagai penyebab langsung lahirnya tasawuf di dunia Islam, lebih terlihat jelas dalam perilaku Rasulullah SAW.
            Dengan demilkian, tanpa adanya faktor ekstern, tasawuf pun tetap lahir di dunia Islam.[21]

D. Tujuan Tasawuf
            Secara umum, tujuan terpenting dari sufi adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum. Terlihat adanya tiga sasaran ‘’antara’’ dari tasawuf, yaitu; pertama, tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis . kedua, tasawuf yang bertujuan untuk ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyf al-hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistematis analitis. Ketiga, tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan. Dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme, yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makna dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga terjadi adalah monolog antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan.[22]
            Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme ini, terlihat adanya keragaman tujuan itu. Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni dan atua keduanya secara bersamaan, yaitu:
a)    Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Tuhan, karena Dialah penggerak utama dari semua kejadian di alam ini.
b)    Penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepas diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi, teresterial yang diiistilahkan sebagai ‘’fana al-ma’asi dan baqa al-ta’ah,dan
c)    Peniadaan kesadaran terhadap ‘’diri sendiri’ serta pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilahi anta maksudi wa ridhaka mathlubi.[23]

E. Hakekat Tasawuf
            Hakekat adalah Salik mencapai tujuan yaitu Ma’rifat billah[24] dan Musyahadati nurit Tajalli atau terbukanya Nur (cahaya) yang gaib bagi hati seseorang. Maka apabila syari’at merupakan peraturan, Tarekat merupakan pelaksanaan (dalam menempuh jalan), maka hakekat merupakan tujuan pokok yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Hakekat juga berarti kebenaran sejati dan mutlaq, sebagai akhir dari semua perjalanan, tujuan segala jalan (Tarekat).[25]
            Dalam pengartian istilah ini, al-Qurasyairi mengatakan, apabila syari’at berkonotasi kepada konsistensi seorang hamba Allah, maka hakekat adalah kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syari’at itu. Dengan demikian, setiap amalan kahir yang tidak diisi hakekat tidak  ada artinya dan demikian juga sebaiknya, hakekat berarti inti sesuatu atau sumber asal dari sesuatu. Dalam dunia sufi, hakekat diartikan sebagai aspek batin dari syari’at, sehingga dikatakan hakekat adalah aspek yang paling dalam dari setiap amal, inti dan rahasia dari syari’at yang merupakan tujuan perjalanan salik. Nampaknya hakekat berkonotasi kualitas ilmu batin, yaitu sedalam apa dapat diselami dan dirasakan makna batiniyah dari setiap ajaran agama.[26]
            Di samping itu, ajaran tasawuf pada hakekatnya merupakan penerapan dari syari’at Islam, yang berusaha membimbing manusia agar beribadah dengan penuh keikhlasan, berusaha membina ruhani menjadi bersih yang akan berpengaruh pada kebersihan jasmani. Oleh karena itu menurut ajaran tasawuf hati harus dibersihkan. Apabila seorang telah bersih lahir dan batin dari kemaksiatan, maka akan terangkatlah dinding ma‘rifatullah yang ingin dicapai oleh para sufi. Sehingga manusia dengan cara demikian akan betul-betul merasakan dalam hatinya kehadiran Tuhan bahkan dapat merasakan bertemu dengan Tuhan dikala beribadah kepada-Nya.[27]
            Mistisisme dalam Islam diberi nama Tasawuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad, bersatu dengan Tuhan. Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan , tasawuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.[28]

F. Ruang Lingkup Ilmu Tasawuf
            Tasawuf adalah nama lain dari ‘‘Mistisisme dalam Islam‘‘. Di kalangan orientalis Barat dikenal dengan sebutan ‘’Sufisme’’. Kata ‘‘Sufisme‘‘ merupakan istilah khusus dalam mistisisme Islam. Sehingga katta ‘‘Sufisme‘‘ tidak ada pada mistisisme agama-agama lain. Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk ‘‘Ittihad‘‘ (bersatu) dengan Tuhan. demikian inimenjadi inti persoalan ‘‘Sufisme‘‘ baik pada agama Islam maupun di luarnya.
            Dengan pemikiran diatas, dapat dipahami bahwa ‘‘tasawuf/mistisisme Islam‘‘ adalah suatu ilmu yang mempelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada di hadirat Allah SWT (Tuhan). maka gerakan ‘‘kejiwaan‘‘ penuh dirasakan guna memikirkan betul suatu hakekat kontak hubung yang mampu menelaah informasi dari Tuhannya.[29]  
            Tasawuf atau mistisisme dalam Islam beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup ‘’kezuhudan‘‘ (menjauhi kemewahan duniawi). Tujuan tasawuf untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan maksud ada perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
            Dengan demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya atau cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara langsung dari Tuhan.[30]

G. Maqamat dan Stasiun-Stasiun Lainnya
            Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[31] Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Untuk berada dekat kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi stasiun-stasiun, yang disebut maqamat dalam istilah Arab atau Stages dan Stations dalam istilah Inggris.[32] Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang disepakati, yaitu al-zuhud, al-taubah, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridha. Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut[33]:
1.  Al-Zuhud
            Secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution, zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[34] Kebersihan dari dosa tidak cukup hanya dengan tobat , melainkan juga dengan meninggalkan dunia materi. Setelah bersih dari dosa, seorang zahid mulai melihat Tuhan bukan sebagai Tuhan yang ditakuti siksa-Nya, tetapi sebagai Tuhan tempat mencari ketentraman jiwa.[35]
2. Taubat (Al-Taubah)
            Taubat dilukiskan sebagai kebangunan jiwa dari ketidakpedulian, sehingga yang berdosa menyadari akan kesalahan jalan yang ditempuhnya dan menyesali ketidakpatuhan yang telah dilakukan. Penyesalan itu belum dibenarkan jika dia tidak menghentikan seketika perbuatan dosa-dosa yang telah disadarinya dan berjanji tidak akan mengulang berbuat dosa lagi. Bila dia gagal memenuhi sumpahnya, dia harus minta ampun pada Tuhan lagi yang rahmatnya tak terhingga.[36]
3. Al-Wara‘
            Kata ini mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik dan dalam pengertian sufi, wara‘ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat syubhat (keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu. Cerita-cerita tentang sufi mau makan kalau ia ragu-ragu tentang keadaan makanan yang disajikan baginya; apakah itu diperdapat dan diperoleh dengan jalan halal, dapat dibaca dalam literatur tasawuf. Al-Muhasibi menolak segala makanan yang di dalamnya terdapat syubhat. Tangan Bisr al-Hafi, tiap ada makanan yang di dalamnya terdapat syubhat, tak dapat diulurkannya untuk mengambil makanan itu.[37]
4. Kefakiran (Al-Faqr)              
                Seperti halnya dalam istilah-istilah yang lain, al-faqr juga mempunyai interpretasi yang  berbeda antara satu sufi dengan sufi lain. Tetapi pada umumnya berfokus kepada sikap hidup yang tidak ‘‘ngoyo‘‘ atau memaksa diri untuk meendapatkan sesuatu. Tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer. Tetapi ada pula yang mengartikan, tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa. Sebenarnya, bagaimanapun konotasi yang diberikan masing-masing sufi dalam masalah ini, namun pesan yang tersirat di dalamnya adalah agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negatif yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Namun bagi sufi itu sendiri, mereka merasa lebih baik tidak punya apa-apa atau sudah merasa cukup dengan apa adanya, dari pada punya tetapi menyiksa.[38]
5. Sabar (Al-Shabr)
            Sabar bukan hanya berarti patuh dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah, tetapi juga sabar dalam menerima segala cobaanyang ditimpakan Tuhan kepadanya. Sabar, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan oleh Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek, misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[39]
6. Tawakal (Al-Tawakal)
            Dalam syari’at Islam diajarkan bahwa tawakal dilakukan sesudah segala daya upaya dan ikhtiar dijalankannya. Jadi yang ditawakalkan atau digantungkan pada rahmat pertolongan Allah adalah hasil usahanya sesudah segala ikhtiar yang dilakukannya. Yakni tawakal yang dilandasi oleh aktif kerja keras. Dalam taswuf tawakal dijadikan satu maqam yang diberi pengertian secara khusus yang berbeda dan menyimpang dari ajaran tawakal dalam agama. Tasawuf menjadikan maqam tawakal sebagai wasilah atau tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan apa saja selain Allah.[40]
7. Kerelaan (Al-Ridha)
            Setelah mencapai maqam tawakal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Allah, meninggalkan dan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam ridha. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan dan kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali, rela menerima apa saja. Segala yang telah dan sedang dialami itulah yang terbaik baginya, tak ada yang terlebih baik selain apa yang telah dan sedang dialaminya. Dalam ajaran kawruh beja Suryamataram, ridha itu dirumuskan dalam ungkapan ‘‘Aku sak iki neng kene ngene,gelem‘‘. Jadi dengan maqam ridha segala derita dan percobaan Tuhan ditanggapinya sebagai rahmat nikmat Allah.[41]



H. Hal dan Perilaku Orang Bertasawuf
            Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr). Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[42]
1. Mahabbah
            Mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. pengartian yang diberikan kepada Mahabbah antara lain adalah memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi dan mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi. Yang dimaksud dengan dikasihi di sini ialah Tuhan. sufi yang termashur dalam mahabbah ialah Rabi’ah al-Adawiyah (713-801 H) dari Basrah di Irak. Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.[43]
2. Al-Ma’rifah
            Dari literatur yang diberikan tentang ma’rifah, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang ‘arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Yang dilihatnya orang ‘arif baik sewaktu bangun hanya Allah. Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[44]
            Dalam tasawuf  Zunnun al-Misri (wafat 860 M) yang dipandang sebagai bapak paham ma’rifah. Menurut Zunnun ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan:
1.      Pengetahuan Awam: Tuhan satu dengan perantaraan ucapan syahadat.
2.      Pengetahuan ulama: Tuhan satu menurut logika akal.
3.      Pengetahuan sufi : Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.[45]
3. Al-Fana, Al-Baqa dan Ittihad
            Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula beerarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.[46]
            Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan, dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.[47]
            Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan). hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan penbicaraan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai dikatakan oleh al-Baidawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.[48]
             Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustomi (w. 874 M) disebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa ini. Nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendiriannya. Ia pernah mengatakan: ‘‘Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syari’at dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at.‘‘[49]
            Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan, padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Di antara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya :‘‘ Tidak ada Tuhan, melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku.‘‘[50]
            Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Bagi orang yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama, itu dipandang  sebagai kekufuran. Paham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Dengan demikian untuk mencapai hulul dan wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu melalui fana dan baqa.[51]
4. Al-Hulul
            Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.[52] Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma‘ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thawasin.[53]
            Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secrara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah disebutkan di atas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa al-Hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.[54]
5. Wahdat al-Wujud
            Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud  artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengaertikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para filsafat dan sufistik sebagai  suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakekat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakekatnya qadim dan berasal dari Tuhan.[55]
            Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyidin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol pada tahun 1165 M. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145 dan disana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. Ia pergi ke mekkah dan meninggal di Damaskus di Tahun 1240 M. Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq Tasawuf. Baginya Wujud (yang ada) itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain ujud Khaliq. Pada hakekatnya tidaklah ada pemisah di antara manusia dan Tuhan. kalau dikatakan berlainan antara khaliq dan makhluk itu hanyalah lantaran pendeknya paham dan akal dalam mencapai hakekat.[56]  

I. Simpulan
Kata tasawuf atau sufi belum dikenal di zaman Rasul dan sahabat, tetapi baru muncul pada akhir abad kedua hijriah karena sikap dan perilaku orang-orang zuhud yang hidup mewah. Karena istilah tersebut baru muncul akhir abad kedua Hijriah dan istilah ini tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadis, maka bermacam teori pun muncul mengenai asal kata dari istilah tasawuf atau sufi itu, namun, teori yang lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwa tasawuf atau sufi berasal dari kata shuf. Di samping secara filologis kata shuf sejalan dengan kata tashawuf atau sufi, juga para sufi ketika itu rata-rata memakai pakaian yang terbuat dari bulu domba (shuf) sebagai simbol dari kesederhanaan mereka.
Ajaran tashawuf yang bertujuan untuk mendekatkan manusia sedekat mungkin kepada Tuhan dengan membersihkan jiwanya sebersih mungkin kepada Tuhan dan menghiasi manusia dengan akhlak yang terpuji, bukanlah timbul karena pengaruh agama lain atau karena pengaruh falsafat dan mistik dari luar, tetapi muncul, tumbuh dan berkembangdari dalam Islam sendiri yang digali dari ajaran Al-Qur’an, hadis Nabi dan praktek para sahabat.       
Para tokoh mempunyai model-model pemikiran tasawuf yang berbeda dan kesemuanya para ahli berbeda antara satu dan yang lain. Tetapi pada hakekatnya Tujuan akhir ajaran tasawuf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dalam rangka mencapai ridha-Nya, dengan mujahadah melalui latihan (riyadhah) spiritual dan pembersihan jiwa, atau hati (tazkiyah al-anfus). Jiwa dan tubuh bersifat saling mempengaruhi. Apabila jiwa sempurna dan suci, maka perbuatan tubuh akan baik. Begitu pula sebaliknya, dengan dihiasi akhlak yang diridhai oleh Allah.

Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.







Daftar Pustaka

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA. 2007.
Anwar, Rosihon dan Muhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.    2008.
Bakhtiar, Amsal. Tasawuf dan Gerakan Tarekat. Bandung: ANGKASA Bandung.   2003.
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1984.
http://muhammadyusuf18.blogspot.com/2011/pengertian-dan-ruang-lingkup-tasawuf.html.Diakses pada tanggal 08-05-2013.

http://zhebaulil.blogspot.com/2013/pengertian-dan-mempelajari.html. Diakses pada tanggal 08-05-2013.
Labib Mz. Memahami Ajaran Tashawuf & Thoriqot. Surabaya : BINTANG USAHA JAYA. 2003.
Labib Mz. Memahami Ajaran Tashowuf. Surabaya : TIGA DUA. 2000.
Mahmud, Abdul Qadir. Al-Falsafah Al-Sufiyah fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1966.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1973.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Rusli, Ris’an. Tasawuf dan Tarekat. Palembang: IAIN Raden Fatah Press. 2006.
Siregar, H.A. Rivay. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002.
Yunus, Muhammad.  Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung. 1990.

                                                                        




                [1] Ruh suci itu datang dan dihembuskan dari Allah sendiri sebagai Khaliq-Nya. Lihat surat Al-Hijr (15) ayat 29 yang artinya: “Maka apabila Aku menyempurnakan kejadiannya , dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu dengan bersujud (menghormat).”
                [2] Kebersamaan dengan Tuhan dalam kehidupan kaum sufi dikenal dengan istilah ittihad, wahdat al-wujud atau Hulul.
                [3] Ris’an Rusli. Tasawuf dan Tarekat. (Palembang: IAIN Raden Fatah Press. 2006). hlm. 1.
                [4] Amsal Bakhtiar. Tasawuf dan Gerakan Tarekat. (Bandung: ANGKASA Bandung. 2003). hlm. 1.
                [5] Ris’an Rusli, op. cit., hlm.2-3.
                [6] H.A. Rivay Siregar. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002). hlm. 7-8.
                [7] Op. cit., hlm.3.
                [8] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajawali Pers. 2010). hlm. 179.
                [9] Solihin & Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf. (Bandung: Pustaka Setia. 2008). hlm. 13.
                [10] Abuddin Nata.,op. cit. hlm. 179-180
                [11] Ibid. hlm. 179-180.
                [12] Ibid,.
                [13] Ris’an Rusli, op. cit. hlm. 8-9.
                [14] Labib Mz. Memahami Ajaran Tashawuf & Thoriqot. (Surabaya : BINTANG USAHA JAYA. 2003).hlm. 25.
                [15] Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf. (Bandung: CV. PUSTAKA SETIA. 2007).hlm. 33

                [16] Harun Nasution. Falsafah dan Mistisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1973).hlm. 56.
                [17] Q.S 2 : 186
                [18] Q.S. 50 : 16
                [19] Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
                [20] Q.S 2 : 115
                [21] Op.cit ,hlm. 35-37.
                [22] H.A. Rivay Siregar. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Op.,cit. hlm. 57-58
                [23] Ibid., hlm. 57-58.
                [24] Ma’rifat billah ialah melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya, tapi tidak dengan kaifiyat artinya Tuhan digambarkan seperti benda atau manusia ataupun yang lain dengan ketentuan bentuk dan rupa sebagai jawaban kaefa (bagaimana zat Tuhan itu?). Lihat Labib Mz. Memahami Ajaran Tashowuf dan Thoriqot. (Surabaya : BINTANG USAHA JAYA. 2003).hlm. 19.
                [25] Labib Mz. Memahami Ajaran Tashowuf. (Surabaya : TIGA DUA. 2000).hlm. 128.
                [26] H.A. Rivay Siregar. Op.,cit. hlm. 111-112.
                [27] Ris’an Rusli. Tasawuf dan Tarekat. (Palembang: IAIN Raden Fatah Press. 2006).hlm.7.
                [28] Harun Nasution. Op.cit. hlm. 47.
                [29] http://zhebaulil.blogspot.com/2013/pengertian-dan-mempelajari.html. Diakses pada tanggal 08-05-2013.
                [30] http://muhammadyusuf18.blogspot.com/2011/pengertian-dan-ruang-lingkup-tasawuf.html. Diakses pada tanggal 08-05-2013.
                [31] Lihat Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm.362.
                [32] Harun Nasution. Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Op.,cit. hlm. 53.
                [33] Abuddin Nata. Op,cit. hlm. 194.
                [34] Ibid., hlm. 194-195.
                [35] Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf. hlm. 79.
                [36] Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2002). hlm. 52.
                [37] Harun Nasution. Op.,cit. hlm. 58.
                [38] H.A Rivay Siregar. Op.,cit. hlm. 119.
                [39] Rosihon Anwar. Op.,cit. hlm. 79
                [40] Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Op.,cit. hlm.64-65.
                [41] Ibid., hlm. 67.
                [42] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajawali Pers. 2010). hlm. 204-205.
                [43] Harun Nasution, Loc. Cit., hlm.61-62.
                [44] Ibid., hlm.65-66.
                [45] Ibid.,hlm.66.
                [46] Abudin Nata., Loc.,cit.hlm. 231-232.
                [47] Ibid., hlm.232-233.
                [48] Ibid., hlm.234-235.
                [49] Ibid., hlm.235-236.
                [50] Ibid.,
                [51] Ibid., hlm.237.
                [52] Abdul Qadir Mahmud. Al-Falsafah Al-Sufiyah fi al-Islam. (Beirut: Dar al-Fikr, 1966).hlm.337.
                [53] Harun Nasution. Falsafah dan Mistisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1978).hlm.78.
                [54] Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1984). Hlm.120.
                [55] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajawali Pers. 2010). hlm.247.
                [56] Ibid.,hlm.252-253.